Pengikut

Senin, 12 Oktober 2015

Kesultanan Brunei Darussalam



BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Sejarah awal Brunei (Kerajaan Brunei Tua)
Kerajaan Brunei Tua disebut juga dengan Kerajaan Brunei sebelum Islam. Catatan sejarah menyebutkan bahwa peradaban Brunei diketahui telah ada sejak abad ke 6 M. Saat itu, daerah Brunei dikenal sebagai salah satu pelabuhan persinggahan para pelaut dari Cina, Arab, dan India yang biasanya singgah sejenak dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Indonesia untuk berdagang. Meskipun Kerajaan ini telah ada sejak abad ke 6, namun sayangnya data tentang sejarah Kerajaan Brunei sebelum Islam itu tidak banyak ditemukan. Sehingga gambaran peristiwa pada masa lalu tidak dapat terekam denga jelas. Bahkan dari Pusat Sejarah Brunei sendiri hanya membahas sedikit data yang ditemukan melalui manuskrip dari sejarah Cina yang menceritakan aktifitas penduduk seperti aktifitas ekonomi, sosial dan budaya.[1]
Beberapa catatan sejarah menyebutkan, bahwa Kerajaan Brunei memiliki beberapa penyebutan yang berbeda-beda. Dituliskan dalam catatan sejarah Cina, Brunei dikenal dengan nama Po-li, Po-lo dan Po-ni (Puni)[2]. Dan dalam catatan sejarah Arab, Brunei disebut dengan nama Dzabaj atau Randj yang kemudian nama ini berubah menjadi Brunei.[3]


1.2              Masa Perkembangan Kesultanan Brunei
Pada masa perkembangan, Kesultanan Brunei Darussalam mengalami pasang surut yang disebabkan oleh penaklukan kerajaan lain serta munculnya kolonialisme, sehingga peristiwa itu  mempengaruhi situasi politik di dalam negeri. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, dapat digambarkan dalam beberapa fase pemerintahan, yaitu:
1.      Kesultanan Brunei Sebelum Kolonialisme
Berdasarkan letak geografis Brunei Darussalam yang strategis, perkembangan agama Islam di sana tidak lepas dari pengaruh para musafir dan pedagang. Pada mulanya, agama Islam belum menjadi agama resmi kerajaan dan belum banyak masyarakat di sana yang beragama  Islam. Nah, agama Islam ini baru menjadi agama resmi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah (1363-1402 M).[4] Ketika itu, Raja Awang Alak Betatar menjalin hubungan dengan Kesultanan Johor[5] dan menikahi puteri sultan Johor (1368 M)[6]. Lewat pernikahan inilah, Raja Awang Alak Betatar akhirnya memeluk agama Islam sehingga ia mendapatkan gelar dari Sultan Johor, yaitu Sultan Muhammad Shah.
Terdapat sumber dari Kerajaan Majapahit yang tercatat dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M, menyebutkan bahwa Brunei ada di antara negeri-negeri yang takluk di bawah kekuasaan Majapahit. Dan menurut Salasilah Raja-raja Brunei juga disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah, Kerajaan Brunei pernah takluk di bawah kekuasaan Majapahit, sehingga setiap tahunnya wajib memberikan upeti sebanyak 40 kati kapur barus.[7] Kemudian setelah Patih Gajah Mada wafat, Kerajaan Brunei melepaskan diri darinya.
Pada tahun 1402 M Sultan Muhammad Shah wafat dan digantikan oleh Sultan Ahmad (1408-1405 M) yang tak lain adalah keponaknnya sendiri. Kemudian Sultan Ahmad wafat dan digantikan oleh menantunya, Sultan Sharif Ali (1425-1432 M). Selama masa pemerintahannya, Brunei memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas. Selain itu, Sultan Sharif Ali berjuang keras menyebarkan Islam kepada penduduk Brunei yang pada saat itu, keseharian mereka masih banyak yang berasal dari pengaruh Hindu-Budha. Ia juga menerapkan corak kepemimpinan yang adil, teratur dan berasaskan hukum Islam.
 Pada tahun 1511 M Kekuasaan Brunei yang dipegang oleh Sultan Bolkiah (1485-1524) menjadi penggerak dalam perkembangan Islam bagi daerah-daerah lain di sekitarnya, yaitu setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Sejak saat itulah, kesultanan Brunei mencapai zaman kejayaannya. Pada masa ini, wilayah pemerintahan tidak hanya mencakup keseluruhan pulau Kalimantan, namun hingga pulau Palawan, Sulu, Balayan, Mindoro, Bonbon, Balabak, Balambangan, Bangi, Mantanai, dan Saludang. Namun setelah keberhasilan yang telah dicapai, Sultan Bolkiah wafat pada tahun 1524 dan kekuasaannya digantikan oleh Sultan  Abdul Kahar (1524-1530 M).
2.      Kesultanan Brunei Pada Masa Kolonialisme
Kolonialisme di Kerajaan Brunei terjadi pada tahun 1578 yang  diawali dengan perselisihan di kalangan internal istana, dan ketika mengetahui kondisi istana yang tidak baik itu, bangsa Spanyol mengambil kesempatan untuk menaklukkan Brunei. Upaya yang dilakukan bangsa Spanyol adalah mengirimkan surat permohonan kepada Sultan Saiful Rijal (1533-1581) agar bersedia memberi keleluasaan kepada mereka untuk menyebarkan agama kristiani dan jaminan keselamatan bagi mereka di Brunei. Bahkan isi surat tersebut juga menghina kemuliaan Islam.
Setelah mendapatkan surat permohonan tersebut, justru Sultan menjadi marah besar dan pada bulan April 1578 M, terjadilah pertempuran antara Kesultanan Brunei dengan Bangsa Spanyol yang memakan banyak korban jiwa dari pihak Brunei dan memporak-porandakan Negara. Namun pada akhirnya, dengan semangat nasionalisme rakyat Brunei saat itu, mereka berhasil mengalahkan musuhnya.
Setelah itu, Sultan Saiful Rijal meninggal dan kekuasaannya digantikan oleh Sultan Shah Brunei yang memimpin dengan waktu yang amat singkat yaitu pada tahun 1581-1582 M saja. Kemudian tampuk kepemimpinan Kerajaan Brunei diteruskan oleh Sultan Muhammad Hassan (1582-1598) yang sukses mengembalikan masa kejayaan Brunei di masa lalu. Pada masa ini, terlihat kemajuan di bidang pendidikan, keagamaan, serta perdagangan. Akan tetapi, lagi-lagi masa kejayaan itu surut. Pada tahun 1839, James Brook datang dari Inggris menyerang Brunei di Serawak, sehingga Kesultanan Brunei kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Setelah itu, sedikit demi sedikit wilayah kekuasaan Brunei terkikis.
Untuk mempertahankan sisa wilayah kekuasaannya, Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin menyepakati pejanjian demi perjanjian yang dibuat susul menyusul dengan Inggris pada tahun 1888. kemudian 1905, 1906,1959, 1971, hingga perjanjian tahun 1979 M yang merupakan perjanjian tambahan untuk merevisi perjanjian tahun1888. Selain itu, perjanjian-perjanjian ini dibuat untuk mengakhiri perjanjian istimewa antara Kerajaan Brunei dengan Inggris yang bertentangan dengan tanggung jawab antar bangsa.
Pada tahun 1960an terjadi peristiwa penting terkait dengan pembentukan Negara Malaysia yang saat itu mencakup wilayah brunei. namun karena jaminan masa depan Brunei tidak disepakati, maka Brunei mengambil keputusan untuk membentuk kedaulatan sendiri. Salah satu upaya untuk mewujudkan kedaulatan yang mandiri tersebut, maka pada tahun 1962, Kesultanan Brunei mengadakan pemilihan umum pertama, yang sayangnya dikotori oleh pengkhianatan para pemimpin yag tergabung dalam Tentara Nasional Kalimantan Utara untuk menggulingkan kesultanan yang sah. Dari persitiwa ini memakan korban jiwa cukup banyak, namun di lain sisi memberi pelajaran berharga bagi Kesultanan Brunei di masa depan.
3.      Kesultanan Brunei Pasca Kolonialisme
Suasana sempat membaik dan tenang hingga pada tahun 1967 ketika sultan Haji Omar Ali Saifuddin menurunkan diri dari jabatannya dan mengangkat putra sulungnya, Sultan Hassanal Bolkiah menjadi Sultan Brunei ke 29 di usia 21 tahun. Ketika itu kerajaan Brunei belum merdeka, namun ia telah berhasil memberikan kemajuan pada Brunei dan memprakarsai kemerdekaan Brunei melalui pembaharuan perjanjian-perjanjian Brunei dengan Inggris. Selain itu, ia telah memberikan kemajuan dan pembaharuan Negara di bidang agama, ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan, hingga keamanan. Pada tanggal 1 Januari 1984, Kerajaan Brunei merdeka dan menjadi kerajaan yang berdaulat. Sejak awal pengangkatannya menjadi Sultan Brunei ke 29, Sultan Hassanal Bolkiah merombak sistem kementrian dan mewujudkan pemerintahan yang bersih, jujur, amanah, dan sesuai dengan konsep dan falsafah Negara, sebagai “Negara Melayu Islam Beraja”.
Kini, masa kejayaan Brunei dapat dikatakan terulang kembali semenjak dipimpin oleh Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah (1967-Sekarang). Sebagai negeri kaya minyak dan dengan penerapan ekonomi syariah, Brunei selalu dilimpahkan rezeki.

2.3              Wilayah Kekuasaan
Ketika Brunei masih bernama Poli, Brunei telah menguasai 136 daerah. Pada masa kejayaannya, Brunei pernah menguasai seluruh Borneo (Pulau Kalimantan), Zulu, serta Luzon di Philipina. Saat ini, Brunei memiliki wilayah yang lebih kecil dari pada masa lalu, yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia dari sebelah barat sampai timur wilayah itu, serta sebelah utara yang berbatasan dengan Laut China Selatan. Wilayah kekuasaan Brunei saat ini mencakup empat wilayah, yaitu Belait, Brunei dan Muara, Temburong, serta Tutong, yang terbagi ke dalam 38 mukim.

2.4       Keadaan Alam
Brunei terdiri atas dua wilayah yang terpisah, yaitu wilayah barat dan timur :
a)  Bagian barat terdiri atas daerah Tutong, Belait, dan Brune. Di wilayah ini bentang alam umumnya berupa berupa dataran rendah dan rawa, kecuali bagian selatan ada sedikit perbukitan. Iklimnya adalah tropic katulistiwa yang lembap. Di bagian barat mengalir tiga sungai, yaitu Sungai Tutong, Sungai Brunei, dan Sungai Belait (sungai terpanjang Brunei Darussalam).
b)  Bagian timur adalah daerah Temburon. Di bagian timur wilayahnya didominasi perbukitan dan dataran tinggi, dengan tempat tertingginya, yaitu Gunung Pagon (1.850 m). Di bagian ini mengalir Sungai Temburong dan anak-anaknya.

2.5       Potensi Ekonomi
Ketika Brunei masih bernama Poli, mereka sering melakukan perniagaan (barter) dengan negeri China atau Dinasti Liang (502-566 M).  Dan saat ini, perekonomian negara Brunei Darussalam bertumpu pada sektor pertambangan, terutama tambang minyak bumi dan gas alam.
2.5       Kondisi Sosial dan Agama
Semasa pra-Islam, masyarakat Brunei menganut agama Hindu-Budha. Agama Islam baru menjadi agama resmi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah (1363-1402 M). Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, Brunei menjadi penggerak dalam perkembangan Islam bagi daerah-daerah lain di sekitarnya.
Penduduk Brunei di masa lalu dikenal dengan adat –istiadat kesopanan yang tinggi. Hal itu tercermin ketika Sultan Brunei menjamu tamu dari Spanyol dengan menghidangkan berjenis-jenis makanan sehingga membuat takjub orang Spanyol.
Di masa sekarang ini, Kerajaan Brunei menggunakan syariat Islam dalam penerapan hukumnya yang disebut hukum syarak. Penerapan hukum Islam tersebut tidak lain karena pengaruh kuat dari Sultan Syarif Ali yang kukuh ingin menjadikan penduduk Brunei sebagai muslim sejati.[8] Kemudian berimplikasi terhadap perilaku penduduk Brunei yang senantiasa mendasarkan perilakunya sesuai dengan syariat Islam.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1)      Awal kesultanan Brunei disebut juga dengan Kerajaan Brunei sebelum Islam. Catatan sejarah menyebutkan bahwa peradaban Brunei diketahui telah ada sejak abad ke 6 M. Saat itu, daerah Brunei dikenal sebagai salah satu pelabuhan persinggahan para pelaut dari Cina, Arab, dan India yang biasanya singgah sejenak dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Indonesia untuk berdagang.
2)      Pada masa perkembangan, Kesultanan Brunei Darussalam mengalami pasang surut yang disebabkan oleh penaklukan kerajaan lain serta munculnya kolonialisme di Asia Tenggara sehingga peristiwa itu  mempengaruhi situasi politik di dalam negeri. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, dapat digambarkan dalam beberapa fase pemerintahan, yaitu: Kesultanan Brunei sebelum kolonialisme, Kesultanan Brunei pada masa kolonialisme, dan Kesultanan Brunei pasca kolonialisme.
3)      Islamisasi Kesultanan Brunei Darussalam terjadi pada abad ke 14 M, beberapa catatan Cina menyebutkan kejadian tersebut. Semenjak Sultan Muhammad Shah menikah dengan Putri Johor tahun 1368 M. Setelah itu sistem pemerintahan kerajaan Brunei pun dengan otomatis berubah menjadi sebuah kesultanan Islam.








DAFTAR PUSTAKA
Brunei Darussalam: Kesultanan Absolut dan Negara Modern <httpkyotoreview.orgwp-contentuploadsNaimah-Talib-Bahasa.pdf>  (diakses 11/09/2015, pukul 21:05).
Kesultanan Brunei Darussalam <http://Melayuonline.com/ind/history/dig/312/kerajaan-brunei>  (diakses 19/09/2015, pukul 10:12).
Ahmad, Mohammad Deli bin, Brunei Darussalam in Brief, Brunei Darussalam The Information Departmen, Prime    Minister’s Office, 1989.
Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan HIstoris Islam Indonesia, Jakarta: LOGOS,  1998.
Al-Sufri, Awang Muhammad Jamil, Latar Belakang Sejarah Brunei, Bandar Seri Begawan, Brunei: Pusat Sejarah Brunei, Kementrian Kebudayaan Belia dan Sukan, 2000.
Al-Sufri,  Awang Muhammad Jamil, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembanagan Islam, Brunei Darussalam: Jabatan Pusat Sejarah, 1990.
Protektorasi Inggris terhadap kesultanan Brunei Darussalam Tahun 1888 <httprepository.uinjkt.ac.iddspacebitstream12345678951381BAHRIYATUL%20ARIF-FAH.PDF> (diakses 11/9/2015, pukul 11:10).



[2] Mohammad Deli bin Ahmad, Brunei Darussalam in Brief, Brunei Darussalam The Information Departmen, Prime    Minister’s Office, 1989, hlm. 32a.
[3] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan HIstoris Islam Indonesia, Jakarta: LOGOS,  1998, hlm. 132.
[4] Awang Muhammad Jamil Al-Sufri, Latar Belakang Sejarah Brunei, Bandar Seri Begawan, Brunei: Pusat Sejarah Brunei, Kementrian Kebudayaan, Belia dan Sukan, 2000.
[5]  Menurut Awang Muhammad Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembanagan Islam, Brunei Darussalam: Jabatan Pusat Sejarah, 1990, hlm: 57. Johor yang dimaksud adalah Singapura Tua yang didirikan oleh Sang Nila Utama atau Sri Tri buana yang memerintah antara tahun 1299-1347 M.
[6] Protektorasi Inggris terhadap kesultanan Brunei Darussalam Tahun 1888 <httprepository.uinjkt.ac.iddspacebitstream12345678951381BAHRIYATUL%20ARIF-FAH.PDF> diakses 20/9/2015
[7] Awang Muhammad Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembanagan Islam, Brunei Darussalam: Jabatan Pusat Sejarah, 1990.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar