BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah awal Brunei (Kerajaan Brunei Tua)
Kerajaan Brunei Tua
disebut juga dengan Kerajaan Brunei sebelum Islam. Catatan sejarah
menyebutkan bahwa peradaban Brunei
diketahui telah ada sejak abad ke 6 M. Saat itu, daerah Brunei dikenal sebagai salah satu pelabuhan
persinggahan para pelaut dari Cina, Arab, dan India yang biasanya singgah
sejenak dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Indonesia untuk berdagang.
Meskipun Kerajaan ini telah ada sejak abad ke 6, namun sayangnya data tentang
sejarah Kerajaan Brunei sebelum Islam itu tidak banyak ditemukan. Sehingga
gambaran peristiwa pada masa lalu tidak dapat terekam denga jelas. Bahkan dari
Pusat Sejarah Brunei sendiri hanya membahas sedikit data yang ditemukan melalui
manuskrip dari sejarah Cina yang menceritakan aktifitas penduduk seperti
aktifitas ekonomi, sosial dan budaya.[1]
Beberapa catatan
sejarah menyebutkan, bahwa Kerajaan Brunei memiliki beberapa penyebutan yang
berbeda-beda. Dituliskan dalam catatan sejarah Cina, Brunei dikenal dengan
nama Po-li, Po-lo dan Po-ni (Puni)[2].
Dan dalam catatan sejarah Arab, Brunei disebut dengan nama Dzabaj atau Randj
yang kemudian nama ini berubah menjadi Brunei.[3]
1.2
Masa Perkembangan Kesultanan Brunei
Pada masa
perkembangan, Kesultanan Brunei Darussalam mengalami pasang surut yang
disebabkan oleh penaklukan kerajaan lain serta munculnya kolonialisme, sehingga
peristiwa itu mempengaruhi situasi
politik di dalam negeri. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, dapat digambarkan
dalam beberapa fase pemerintahan, yaitu:
1.
Kesultanan Brunei Sebelum Kolonialisme
Berdasarkan
letak geografis Brunei Darussalam yang strategis, perkembangan agama Islam di
sana tidak lepas dari pengaruh para musafir dan pedagang. Pada mulanya, agama
Islam belum menjadi agama resmi kerajaan dan belum banyak masyarakat di sana
yang beragama Islam. Nah, agama Islam
ini baru menjadi agama resmi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah (1363-1402
M).[4] Ketika
itu, Raja Awang Alak Betatar menjalin hubungan dengan Kesultanan Johor[5] dan
menikahi puteri sultan Johor (1368 M)[6]. Lewat
pernikahan inilah, Raja Awang Alak Betatar akhirnya memeluk agama Islam
sehingga ia mendapatkan gelar dari Sultan Johor, yaitu Sultan Muhammad Shah.
Terdapat
sumber dari Kerajaan Majapahit yang tercatat dalam Kitab Negarakertagama karya
Mpu Prapanca pada tahun 1365 M, menyebutkan bahwa Brunei ada di antara
negeri-negeri yang takluk di bawah kekuasaan Majapahit. Dan menurut Salasilah
Raja-raja Brunei juga disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Shah, Kerajaan Brunei pernah takluk di bawah kekuasaan Majapahit, sehingga
setiap tahunnya wajib memberikan upeti sebanyak 40 kati kapur barus.[7] Kemudian
setelah Patih Gajah Mada wafat, Kerajaan Brunei melepaskan diri darinya.
Pada tahun
1402 M Sultan Muhammad Shah wafat dan digantikan oleh Sultan Ahmad (1408-1405
M) yang tak lain adalah keponaknnya sendiri. Kemudian Sultan Ahmad wafat dan
digantikan oleh menantunya, Sultan Sharif Ali (1425-1432 M). Selama masa
pemerintahannya, Brunei memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas. Selain itu,
Sultan Sharif Ali berjuang keras menyebarkan Islam kepada penduduk Brunei yang
pada saat itu, keseharian mereka masih banyak yang berasal dari pengaruh
Hindu-Budha. Ia juga menerapkan corak kepemimpinan yang adil, teratur dan
berasaskan hukum Islam.
Pada tahun 1511 M Kekuasaan Brunei yang
dipegang oleh Sultan Bolkiah (1485-1524) menjadi penggerak dalam perkembangan
Islam bagi daerah-daerah lain di sekitarnya, yaitu setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis. Sejak saat itulah, kesultanan Brunei mencapai zaman
kejayaannya. Pada masa ini, wilayah pemerintahan tidak hanya mencakup
keseluruhan pulau Kalimantan, namun hingga pulau Palawan, Sulu, Balayan,
Mindoro, Bonbon, Balabak, Balambangan, Bangi, Mantanai, dan Saludang. Namun
setelah keberhasilan yang telah dicapai, Sultan Bolkiah wafat pada tahun 1524
dan kekuasaannya digantikan oleh Sultan Abdul Kahar (1524-1530 M).
2.
Kesultanan Brunei Pada Masa Kolonialisme
Kolonialisme
di Kerajaan Brunei terjadi pada tahun 1578 yang
diawali dengan perselisihan di kalangan internal istana, dan ketika
mengetahui kondisi istana yang tidak baik itu, bangsa Spanyol mengambil
kesempatan untuk menaklukkan Brunei. Upaya yang dilakukan bangsa Spanyol adalah
mengirimkan surat permohonan kepada Sultan Saiful Rijal (1533-1581) agar
bersedia memberi keleluasaan kepada mereka untuk menyebarkan agama kristiani
dan jaminan keselamatan bagi mereka di Brunei. Bahkan isi surat tersebut juga menghina
kemuliaan Islam.
Setelah
mendapatkan surat permohonan tersebut, justru Sultan menjadi marah besar dan
pada bulan April 1578 M, terjadilah pertempuran antara Kesultanan Brunei dengan
Bangsa Spanyol yang memakan banyak korban jiwa dari pihak Brunei dan
memporak-porandakan Negara. Namun pada akhirnya, dengan semangat nasionalisme
rakyat Brunei saat itu, mereka berhasil mengalahkan musuhnya.
Setelah
itu, Sultan Saiful Rijal meninggal dan kekuasaannya digantikan oleh Sultan Shah
Brunei yang memimpin dengan waktu yang amat singkat yaitu pada tahun 1581-1582
M saja. Kemudian tampuk kepemimpinan Kerajaan Brunei diteruskan oleh Sultan
Muhammad Hassan (1582-1598) yang sukses mengembalikan masa kejayaan Brunei di
masa lalu. Pada masa ini, terlihat kemajuan di bidang pendidikan, keagamaan, serta
perdagangan. Akan tetapi, lagi-lagi masa kejayaan itu surut. Pada tahun 1839,
James Brook datang dari Inggris menyerang Brunei di Serawak, sehingga
Kesultanan Brunei kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Setelah itu, sedikit
demi sedikit wilayah kekuasaan Brunei terkikis.
Untuk
mempertahankan sisa wilayah kekuasaannya, Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin
menyepakati pejanjian demi perjanjian yang dibuat susul menyusul dengan Inggris
pada tahun 1888. kemudian 1905, 1906,1959, 1971, hingga perjanjian tahun 1979 M
yang merupakan perjanjian tambahan untuk merevisi perjanjian tahun1888. Selain
itu, perjanjian-perjanjian ini dibuat untuk mengakhiri perjanjian istimewa
antara Kerajaan Brunei dengan Inggris yang bertentangan dengan tanggung jawab
antar bangsa.
Pada tahun
1960an terjadi peristiwa penting terkait dengan pembentukan Negara Malaysia
yang saat itu mencakup wilayah brunei. namun karena jaminan masa depan Brunei
tidak disepakati, maka Brunei mengambil keputusan untuk membentuk kedaulatan
sendiri. Salah satu upaya untuk mewujudkan kedaulatan yang mandiri tersebut,
maka pada tahun 1962, Kesultanan Brunei mengadakan pemilihan umum pertama, yang
sayangnya dikotori oleh pengkhianatan para pemimpin yag tergabung dalam Tentara
Nasional Kalimantan Utara untuk menggulingkan kesultanan yang sah. Dari
persitiwa ini memakan korban jiwa cukup banyak, namun di lain sisi memberi
pelajaran berharga bagi Kesultanan Brunei di masa depan.
3.
Kesultanan Brunei Pasca Kolonialisme
Suasana
sempat membaik dan tenang hingga pada tahun 1967 ketika sultan Haji Omar Ali
Saifuddin menurunkan diri dari jabatannya dan mengangkat putra sulungnya,
Sultan Hassanal Bolkiah menjadi Sultan Brunei ke 29 di usia 21 tahun. Ketika
itu kerajaan Brunei belum merdeka, namun ia telah berhasil memberikan kemajuan
pada Brunei dan memprakarsai kemerdekaan Brunei melalui pembaharuan
perjanjian-perjanjian Brunei dengan Inggris. Selain itu, ia telah memberikan
kemajuan dan pembaharuan Negara di bidang agama, ekonomi, pendidikan, sosial,
kebudayaan, hingga keamanan. Pada tanggal 1 Januari 1984, Kerajaan Brunei
merdeka dan menjadi kerajaan yang berdaulat. Sejak awal pengangkatannya menjadi
Sultan Brunei ke 29, Sultan Hassanal Bolkiah merombak sistem kementrian dan
mewujudkan pemerintahan yang bersih, jujur, amanah, dan sesuai dengan konsep
dan falsafah Negara, sebagai “Negara Melayu Islam Beraja”.
Kini, masa
kejayaan Brunei dapat dikatakan terulang kembali semenjak dipimpin oleh Sultan
Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah (1967-Sekarang). Sebagai negeri kaya
minyak dan dengan penerapan ekonomi syariah, Brunei selalu dilimpahkan rezeki.
2.3
Wilayah Kekuasaan
Ketika
Brunei masih bernama Poli, Brunei telah menguasai 136 daerah. Pada masa
kejayaannya, Brunei pernah menguasai seluruh Borneo (Pulau Kalimantan), Zulu,
serta Luzon di Philipina. Saat ini, Brunei memiliki wilayah yang lebih kecil
dari pada masa lalu, yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia dari sebelah
barat sampai timur wilayah itu, serta sebelah utara yang berbatasan dengan Laut
China Selatan. Wilayah kekuasaan Brunei saat ini mencakup empat wilayah, yaitu
Belait, Brunei dan Muara, Temburong, serta Tutong, yang terbagi ke dalam 38
mukim.
2.4 Keadaan
Alam
Brunei terdiri atas dua
wilayah yang terpisah, yaitu wilayah barat dan timur :
a) Bagian barat terdiri atas daerah Tutong,
Belait, dan Brune. Di wilayah ini bentang alam umumnya berupa berupa dataran
rendah dan rawa, kecuali bagian selatan ada sedikit perbukitan. Iklimnya adalah
tropic katulistiwa yang lembap. Di bagian barat mengalir tiga sungai, yaitu
Sungai Tutong, Sungai Brunei, dan Sungai Belait (sungai terpanjang Brunei
Darussalam).
b) Bagian timur adalah daerah Temburon. Di
bagian timur wilayahnya didominasi perbukitan dan dataran tinggi, dengan tempat
tertingginya, yaitu Gunung Pagon (1.850 m). Di bagian ini mengalir Sungai
Temburong dan anak-anaknya.
2.5 Potensi
Ekonomi
Ketika
Brunei masih bernama Poli, mereka sering melakukan perniagaan (barter) dengan
negeri China atau Dinasti Liang (502-566 M). Dan saat ini, perekonomian negara Brunei
Darussalam bertumpu pada sektor pertambangan, terutama tambang minyak bumi dan
gas alam.
2.5 Kondisi
Sosial dan Agama
Semasa pra-Islam, masyarakat
Brunei menganut agama Hindu-Budha. Agama Islam baru menjadi agama resmi pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Shah (1363-1402 M). Setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis, Brunei menjadi penggerak dalam perkembangan Islam bagi daerah-daerah
lain di sekitarnya.
Penduduk Brunei di masa lalu
dikenal dengan adat –istiadat kesopanan yang tinggi. Hal itu tercermin ketika
Sultan Brunei menjamu tamu dari Spanyol dengan menghidangkan berjenis-jenis
makanan sehingga membuat takjub orang Spanyol.
Di masa sekarang ini,
Kerajaan Brunei menggunakan syariat Islam dalam penerapan hukumnya yang disebut
hukum syarak. Penerapan hukum Islam
tersebut tidak lain karena pengaruh kuat dari Sultan Syarif Ali yang kukuh
ingin menjadikan penduduk Brunei sebagai muslim sejati.[8]
Kemudian berimplikasi terhadap perilaku penduduk Brunei yang senantiasa
mendasarkan perilakunya sesuai dengan syariat Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pada
penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1) Awal
kesultanan Brunei disebut juga dengan Kerajaan Brunei sebelum Islam. Catatan
sejarah menyebutkan bahwa peradaban Brunei diketahui telah ada sejak abad ke 6
M. Saat itu, daerah Brunei dikenal sebagai salah satu pelabuhan persinggahan
para pelaut dari Cina, Arab, dan India yang biasanya singgah sejenak dan
kemudian melanjutkan perjalanannya ke Indonesia untuk berdagang.
2) Pada masa perkembangan, Kesultanan Brunei Darussalam
mengalami pasang surut yang disebabkan oleh penaklukan kerajaan lain serta
munculnya kolonialisme di Asia Tenggara sehingga peristiwa itu mempengaruhi situasi politik di dalam negeri.
Dari peristiwa-peristiwa tersebut, dapat digambarkan dalam beberapa fase
pemerintahan, yaitu: Kesultanan Brunei sebelum kolonialisme, Kesultanan Brunei
pada masa kolonialisme, dan Kesultanan Brunei pasca kolonialisme.
3) Islamisasi
Kesultanan Brunei Darussalam terjadi pada abad ke 14 M, beberapa catatan Cina
menyebutkan kejadian tersebut. Semenjak Sultan Muhammad Shah menikah dengan
Putri Johor tahun 1368 M. Setelah itu sistem pemerintahan kerajaan Brunei pun
dengan otomatis berubah menjadi sebuah kesultanan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Brunei Darussalam: Kesultanan Absolut dan Negara
Modern <httpkyotoreview.orgwp-contentuploadsNaimah-Talib-Bahasa.pdf> (diakses
11/09/2015, pukul 21:05).
Kesultanan Brunei Darussalam <http://Melayuonline.com/ind/history/dig/312/kerajaan-brunei> (diakses
19/09/2015, pukul 10:12).
Ahmad, Mohammad Deli bin, Brunei Darussalam in Brief, Brunei Darussalam The Information
Departmen, Prime Minister’s Office,
1989.
Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan HIstoris Islam Indonesia,
Jakarta: LOGOS, 1998.
Al-Sufri, Awang Muhammad Jamil, Latar Belakang Sejarah Brunei, Bandar Seri Begawan, Brunei: Pusat
Sejarah Brunei, Kementrian Kebudayaan Belia dan Sukan, 2000.
Al-Sufri, Awang
Muhammad Jamil, Tarsilah Brunei: Sejarah
Awal dan Perkembanagan Islam, Brunei Darussalam: Jabatan Pusat Sejarah,
1990.
Protektorasi Inggris terhadap kesultanan Brunei
Darussalam Tahun 1888
<httprepository.uinjkt.ac.iddspacebitstream12345678951381BAHRIYATUL%20ARIF-FAH.PDF>
(diakses 11/9/2015, pukul 11:10).
[2] Mohammad
Deli bin Ahmad, Brunei Darussalam in
Brief, Brunei Darussalam The Information Departmen, Prime Minister’s Office, 1989, hlm. 32a.
[3] Hasan
Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak
Arkeologis dan HIstoris Islam Indonesia, Jakarta: LOGOS, 1998, hlm. 132.
[4] Awang
Muhammad Jamil Al-Sufri, Latar Belakang
Sejarah Brunei, Bandar Seri Begawan, Brunei: Pusat Sejarah Brunei,
Kementrian Kebudayaan, Belia dan Sukan, 2000.
[5] Menurut Awang Muhammad Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunei:
Sejarah Awal dan Perkembanagan Islam, Brunei Darussalam: Jabatan Pusat Sejarah,
1990, hlm: 57. Johor yang dimaksud adalah Singapura Tua yang didirikan oleh
Sang Nila Utama atau Sri Tri buana yang memerintah antara tahun 1299-1347 M.
[6] Protektorasi Inggris
terhadap kesultanan Brunei Darussalam Tahun 1888 <httprepository.uinjkt.ac.iddspacebitstream12345678951381BAHRIYATUL%20ARIF-FAH.PDF>
diakses 20/9/2015
[7] Awang Muhammad Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan
Perkembanagan Islam, Brunei Darussalam: Jabatan Pusat Sejarah, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar